Aku mengenal Jumadi semenjak aku berada di gang tiung ( belakang Golden) waktu itu dia masih duduk di bangku sekolah dasar, saat itu kedua orang tuanya masih hidup bersama dan berdampingan, orang tua Jumadi adalah seorang pendatang dari Jawa timur, merantau sampai akhirnya membangun rumah sederhana tepat disamping rumah keluargaku.
Aku tau saat itu si Jum, menjadi sosok anak yang lazimnya anak seusia dia, ya sekolah, bermain, membantu orang tuanya, walau kadang suara keras dari ibu dan bapaknya selalu muncul di saat si Jum salah dalam membantu pekerjaan orang tuanya.
Ayah si Jum sebut saja Mbah Jo, seorang pekerja kuat, siang malam tanpa merasa lelah demi menghidupi semua anak - anaknya, dia penjual es keliling.
Jumadi, anak ketiga dari empat bersaudara, kakak dan adik sijum telah berkeluarga dengan kehidupan mereka masing masing, sedangkan sijum saat ini hidup sendiri tanpa siapapun, makan dari tetangga yang merasa belas kasihan serta kadang sijum berani meminta kepada sahabat yang ditemuinya, uang sepuluh sampai dua puluh ribu bagi sijum saat berarti untuk saat ini, walau hanya untuk sekedar beli nasi.
Sijum merasa sendiri disaat kedua orang tuanya telah meninggalkan sijum untuk selamanya.
Sijum besar dan dewasa sampai saat ini tanpa ada bimbingan atau sentuhan dari orang tua bahkan saudaranya, dia hidup di rumah yang sangat memprihatinkan, anggab saja bukan rumah tetapi gubuk reyot berbahan dinding papan. Ada beberapa ekor ayam yang tiap hari bermain di emperan rumah sijum yang beralaskan tanah, ada sampah berserakan disana sini, ada pula bekas kotak buah yang berada di sekitaran tempat tinggal sijum, mandi, makan, bahkan buang air besarpun dirumah tersebut, memang rumah sijum juga berdampingan dengan sungai yang melewati batas perumahan tersebut.
Sungai di sekitar rumah sijum bukan lagi sebuah sungai, melainkan sebuah lokasi pembuangan sampah untuk saat ini, ( maaf tahun 1990 sungai itu terlihat jernih dan bisa untuk berenang) karena ulah dan tingkah laku masyarakatnya yang kurang disiplin menyebabkan sungai itu menjadi dangkal serta tidak pantas disebut sungai.
Malam itu tepat jam 23.00 sijum keluar rumah dengan rambut dibiarkan terurai, mata melotot memerah, tanpa baju dikenakan, datang menyapaku, " Mas kapan teko ( mas kapan datang ), aku jawab seenaku saja, barusan.
Tanpa ada kata - kata lainya sijum beranjak dari lokasiku duduk, dia menuju sebuah pohon jambu disamping rumah tetangga, sambil melihat buah dan memandangi pohon sijum mengambil satu biji jambu air, dia makan sambil duduk di awah pohonya.
"Ada yang aneh pada sijum," gumanku.
Dan betul menurut orang yang berada dilingkungan sijum, dia sudah dianggab gila, karena sering meminum minuman berakhohol, serta waktu mudanya sering mengkonsumsi pil sejenis Distro LL, serta lazim di namai Zenit.
Ya, Zenit salah satu obat rematik atau disebut carnophen mudah didapat karena harganya murah serta banyak penjualnya saat itu, tahun 2000 - 2011 pil carnophen menjadi idola anak anak muda belakang Golden sebelum mengenal yang lebih Ganas, yaitu sabu !
Ya Allah.. gumanku, Jumadi yang dulu anak lugu sekarang menjadi seseorang yang mungkin " hidup segan mati tak mau " Jumadi pasrah akan nasibnya, Jumadi hanya bisa menunggu uluran tangan saudara, tetangga, serta sahabat yang iba terhadapnya. Jumadi sudah kecanduan minuman keras dan sejenisnya.
Ada terbesit dibenaku ingin memotong rambut Jumadi yang panjang awut awutan, tetapi dengan bahasa Sampit dia menolaknya, kena ja, biaram panjang,( Nanti saja biar saja panjang ).
Jumadi sahabatku sekarang punya dunia sendiri, punya imajinasi sendiri, punya kehidupan sendiri. Aku hanya bisa berdoa semoga Jumadi bisa sehat dan bisa hidup normal seperti dahulu kala, bisa selalu mendoakan kedua orang tuanya yang sudah meninggal dan bisa melupakan kehidupannya yang kelam sampai saat ini.
Apakah ini sebab dia berada di lingkungan yang salah?? Atau karena pergaulanya yang tidak sehat??? Hanya Jumadi yang bisa menjawabnya( bersambung )
0 Komentar